Terjemah Al Qur’an oleh Tim Depag Insya Allah Benar

Assalamu’alaikum wr wb,
Maaf jika kurang sependapat dgn saudara Irfan S Awwas.
Terjemah memang beda dgn Tafsir. Terjemah itu sesuai dgn makna kata dan juga kalimat. Ada pun tafsir, bisa berubah dgn makna aslinya. Tafsir itu bisa salah. Tafsir juga bisa berbeda-beda antara satu penafsir dengan penafsir lainnya. Tafsir Ibnu Katsir berbeda dengan Tafsir Jalalain. Tafsiran Majelis Mujahidin, tentu akan berbeda dengan tafsiran kaum Liberal.

Tim Penterjemah Depag terdiri dari puluhan ulama yang bukan cuma ahli bahasa Arab, namun juga ahli tafsir. Selain ada Tim Penterjemah, hasil terjemahnya pun diperiksa oleh Tim Pentashih yang terdiri dari ulama di Depag dan juga MUI. Terjemah telah dilakukan sejak tahun 1965 jadi insya Allah kalau dibilang kesalahan terjemah itu fatal dan banyak, apa iya para ulama kita selama ini diam saja?

Terjemahan Depag juga dipakai oleh Kerajaan Arab Saudi yg tentunya memiliki banyak ulama untuk menilai kesahihan terjemahan Al Qur’an Depag.

Jumlah ekstrimis itu kurang dari 1/100.000 dari 180 juta Muslim di Indonesia. Kalau terjemah Depag salah, tentu lebih banyak lagi. Apalagi terorisme di Indonesia baru marak sekitar tahun 2002 dimulai dari Bom Bali.

Kemudian ekstrimis itu bukan cuma terjadi di Indonesia. Tapi juga di Arab (Timur Tengah) di mana mereka tidak pakai terjemah Depag. Tapi langsung dalam bahasa Arab. Osama bin Laden dan Al Qaida yang dituding ekstrim dan teroris apa membaca Al Qur’an pakai terjemahan Depag? Di Pakistan juga ekstrimisme terjadi.

Jadi kalau mengkambing-hitamkan terjemahan Depag sebagai sumber ekstrimisme, saya anggap kurang tepat.

Apalagi sumber ekstremis dan terorisme itu cukup banyak faktor. Mulai dari ketidak-adilan, ketimpangan sosial, kemiskinan, hingga penyerangan AS dan sekutunya ke Afghanistan, Iraq, dan negara-negara Islam lainnya yang menimbulkan korban jutaan orang tentu akan menimbulkan banyak dendam dan bibit-bibit perlawanan/terorisme.

Di antara ayat itu adalah ayat jihad Surah Al-Ahzab ayat 61:

مَّلْعُونِينَ ۖ أَيْنَمَا ثُقِفُوٓا۟ أُخِذُوا۟ وَقُتِّلُوا۟ تَقْتِيلًۭا

Versi Depag menerjemahkan, “Dalam keadaan terlaknat di mana saja mereka dijumpai, mereka (harus) ditangkap dan dibunuh tanpa ampun.”

Sebetulnya yang namanya terjemahan ya memang sesuai kata. Jika beda, itu namanya tafsir. Dan tafsir memang beda dengan terjemahan….

“Dengan terjemahan itu berarti bangsa Indonesia boleh melakukan pengeboman,” kata Thalib saat peluncuran Terjemah Al Qur’an versi Thalib di Hotel Sultan (Pelita Online).

Sementara terjemahan dalam karya Thalib menjadi, “Orang-orang yang menciptakan keresahan di Madinah itu akan dilaknat. Wahai kaum mukminin, jika mereka tetap menciptakan keresahan di Madinah tawanlah mereka dan sebagian besar dari mereka benar-benar boleh dibunuh di manapun berada”.

Bagaimana mungkin kata:

مَّلْعُونِينَ

Yang terjemahan aslinya: “Dalam keadaan terlaknat”

kok “diterjemahkan” Thalib jadi: ““Orang-orang yang menciptakan keresahan di Madinah itu akan dilaknat”? Di mana tulisan:Orang-orang yang menciptakan keresahan di Madinah”?

Jelas “Terjemahan” karya Thalib itu bukan terjemah namanya. Tapi tafsir meski hanya singkat saja. Karena sudah tidak sesuai lagi dengan arti kata ayat Al Qur’an di atas.

Padahal jika kita membaca ayat Al Qur’an tidak sepotong-sepotong, tapi membaca ayat-ayat yang berhubungan baik sebelum mau pun sesudahnya, selain terjemahnya benar juga makna atau tafsirnya juga benar. Lihat terjemahan versi Depag untuk Al Ahzab 60-61 di bawah:

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,

dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” [Al Ahzab 60-61]

Dari terjemah Depag di atas, dengan membaca surat Al Ahzab 60-61 (tidak sepotong-sepotong hanya ayat 61 saja), niscaya kita tidak akan sembarang bunuh orang. Ayat di atas hanya untuk orang-orang munafik yang menyiarkan kabar bohong di Madinah JIKA mereka tidak berhenti dari menyiarkan kabar bohong di atas.

Terjemah Depag:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)….” (Qs. 2:191)

Sebetulnya terjemah itu sudah sesuai dengan ayat Al Qur’an di atas. Saya periksa terjemah Prof. Mahmud Yunus juga begitu. Kalau diterjemahkan jadi (Versi Irfan):

“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir…”

Terjemahnya kok justru berbeda dengan ayat Al Qur’an di atas? Harusnya tafsiran itu cukup ditaruh sebagai footnote/penjelasan. Lagi pula kalau dasarnya sesat pun tafsiran di atas seperti musuh dan medan perang tetap bisa dipelintir. Aliran sesat NII misalnya menafsirkan orang di luar kelompok mereka sebagai kafir/MUSUH meski orang tua sendiri sehingga hartanya halal untuk dicuri/dirampok. Wilayahnya pun selain wilayah mereka dianggap sebagai wilayah kafir.

Sesungguhnya Allah paham bahasa Arab. Jika Allah ingin menulis kata “Musuh” (‘Aduw) tentu Allah akan menulis kata “Musuh” sebagai mana surat Al Baqarah 98, Ash Shaff 14, Al Mumtahanah 1, beserta ayat2 lainnya. Bukan orang kafir.

Terjemahkan Al Qur’an sesuai arti katanya dalam bahasa Arab. Jangan dibengkokkan atau diubah2 jadi kata yg lain agar kita bertakwa:

“(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” [Az Zumar 28]

“(Al Qur’an) dengan bahasa Arab yang jelas.” [Asy Syu’araa’ 195]

Ayat-ayat Al Qur’an umumnya ringkas dan jelas:

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]

Harusnya mudah dimengerti jika kita membaca seluruh ayat secara tertib dan menyeluruh. Jika ditafsir-tafsirkan, khawatirnya selain menyimpang dari makna aslinya, bisa salah dan tiap-tiap kelompok akhirnya punya tafsiran yang berbeda-beda.

Cuma orang yang benar membaca Al Qur’an tidak boleh sepotong-sepotong. Harus khatam dari awal sampai akhir. Jika pun ingin membaca sedikit ayat, minimal 3 ayat. Satu ayat sebelumnya dan sesudahnya juga harus dibaca agar pemahamannya tidak keliru. Kalau menurut orang dulu, membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca/potong.

Coba kita baca selengkapnya:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. 190

Dari surat Al Baqarah ayat 190 saja sudah jelas bahwa yang diperangi adalah orang-orang yang MEMERANGI kita. Dan kita jangan melampaui batas.

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. 191

فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 192

Dari ayat 192 juga jelas jika mereka berhenti memusuhi kita, kita juga harus berhenti.

Argumen Irfan bahwa terjemahan Al Israa’ 29 keliru juga kurang tepat. Dalam bahasa kan ada kata kiasan atau gaya bahasa. Di situlah ada nilai seninya. Jika langsung diartikan, di mana kiasan dan seni bahasa Al Qur’an? Lagi pula Tim Depag langsung memberikan footnote berupa tafsir/penjelasan tentang kiasan tersebut:

وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” [Al Israa’ 29]

[852]. Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu pemurah.

Jika ayat itu diterjemahkan secara tafsiriyah:

“Dan janganlah kamu berlaku kikir, tetapi jangan pula kamu berlaku boros, karena kelak kamu akan menjadi hina dan menyesal atas sikapmu yang berlebihan.”

Meski maknanya benar, tapi tidak sesuai dengan terjemahannya. Padahal di ayat di atas Allah sengaja memakai kata kiasan seperti tangan terbelenggu pada leher (kikir) atau terlalu mengulurkan (boros) itu agar artinya lebih terasa dan ummat Islam jadi berpikir. Jika mau, Allah bisa saja langsung menulis ayat di atas dengan kata bakhil atau pun boros.

Jadi sepertinya Majelis Mujahidin terlalu mencari-cari kesalahan di sini.

Terjamah Harfiyah Depag:  “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Qs. 29:6)

Sudah sesuai dengan ayat Al Qur’an:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Sebaliknya terjemah tafsiriyah: “Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.”

Kok malah aneh. Sebagai contoh bagaimana mungkin kalimat Innallohal ghoniyyun ‘aanil ‘aalamiin (Allah Maha Kaya (tidak butuh) dari semesta alam) kok jadi berkurang sekedar tidak butuh amal manusia?

Jadi seandainya kata Jaahada yang dari bahasa Arab itu konotasinya di Indonesia jadi negatif/ofensif, sebaiknya pemahaman kita saja yang diperbaiki sehingga kembali ke jalan yang benar. Jelaskan makna jihad yang sesungguhnya itu apa. Bukan justru kata jihad tersebut dihindari dan diganti dengan kata yang lain.

Bisa jadi pemimpin teroris itu punya sistem terjemahan sendiri. Jika memang sudah sesat, mereka memang sengaja memotong ayat-ayat Al Qur’an dan menyembunyikan yang lain sehingga orang lain tersesat. Sebagai contoh aliran NII yang menyesatkan anak sehingga terpisah dari orang-tuanya yang mereka anggap kafir itu karena mereka tidak membaca Al Qur’an secara menyeluruh. Tidak khatam atau tidak membaca Al Qur’an hingga selesai. Jika khatam, niscaya mereka membaca ayat ini:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Luqman 14-15]

Di situ jelas terhadap orang tua yang kafir pun kita harus bergaul dengan mereka dengan baik. Tidak main kabur begitu saja.

Jika kita baca Al Qur’an secara menyeluruh, tentu kita juga tahu bahwa kita harus berdamai terhadap orang-orang kafir yang tidak memusuhi kita dan ingin berdamai dengan kita:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Anfaal 61]

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” [An Nisaa’ 114]

“kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” [An Nisaa’ 90]

[331]. Ayat ini menjadi dasar hukum suaka.

[332]. Tidak memihak dan telah mengadakan hubungan dengan kaum muslimin.

[333]. Maksudnya: menyerah.

Apalagi dalam mengartikan ayat-ayat Al Qur’an para ulama sependapat caranya sebagai berikut:
1. Pertama niat harus tulus lillahi ta’ala. Jika bengkok, dia bisa merubah ayat2 Al Qur’an sesuai hawa nafsunya.

2. Mencari arti ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an lain yang berhubungan.

3. Mencari arti ayat Al Qur’an dengan hadits sahih yang berkaitan. Terutama Asbabun Nuzul (Sebab2 turunnya Al Qur’an).

4. Membaca tafsir dari mufassir terkenal dan kredible.

Saya yakin para ektrimis/teroris tersebut tidak melakukan hal itu semua.

Pengharaman terjemah harfiyah menjadi tafsiriyah dikhawatirkan jadi peluang besar bagi kaum sesat seperti kaum Liberal untuk membuat terjemah tafsiriyah terhadap Al Qur’an sehingga akhirnya makna Al Qur’an jadi menyimpang. Alasannya terjemah kan tidak harus sesuai kata per kata dengan Al Qur’an.

Sebagai contoh, Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai tokoh Liberal dan punya posisi di Depag selain punya tuduhan yang sama dengan Majelis Mujahidin bahwa Terjemah Al Qur’an versi Depag memicu terorisme, akhirnya ingin agar Depag membuat terjemahan baru yang bisa jadi tafsirannya sesuai dengan hawa nafsu kaum Liberalis.

Peluncuran Terjemah Al Qur’an Tafsiriyah versi Majelis Mujahidin yang diluncurkan di Hotel Sultan (Hilton) yang merupakan Hotel Bintang 5 termahal dari AS apa bukan satu pemborosan? Siapa yang membiayainya?

Al Qur’an bukan sekedar diterjemahkan atau ditafsirkan. Tapi juga harus diamalkan.

Wassalamu’alaikum wr wb

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu keahliannya di golok. Bukan Ulama. Ada pun Terjemah Depag itu memang yg menyusunnya adalah 10 Ulama di antaranya: Alm Prof TM Hasbi Ash Shiddiqi, Prof H Bustami A Gani, Prof H Muchtar Jahja, KH Ali Maksum, KH A Musaddad, Dr. HA Mukti Ali, H Gazali Thaib, Prof HM Toha Jahya Omar, Drs Kamal Muchtar. Tim MMI siapa Ulamanya?

Kebetulan saya punya terjemah Al Qur’an dari Depag, Saudi, dan Prof Dr Mahmud Yunus. Jadi saya tahu mana yg benar. Al Qur’an MMI itu bukan terjemah. Tapi tafsir (yg belum tentu benar).

Referensi:

http://www.pelitaonline.com/read/dunia-islam/nasional/20/9492/inilah-kritikan-terhadap-terjemahan-alquran/

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/11/01/16540/terjemah-alquran-versi-depag-yang-bermasalah-picu-radikalisme/

Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah di bidang tafsir itu menyatakan, penyusunan versi baru ini dilakukan Kemenag untuk member pemahaman atas arti ayat-ayat Al-Qur’an.”Karena ada juga ayat-ayat Al-Qur’an yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran Islam keras,” tuding Nasaruddin.

Sementara, Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag, Abdul Jamil, dan Kepala Bidang Pengkajian Al-Qur’a Puslitbang Kemenag, Muchlis hanafi, meyakini, bahwa tidak ada yang salah dalam terjemah Al-Qur’an, dan mustahil menjadi penyebab terorisme.

Kata Muchlis Hanafi, “Pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang parsial, sempit, dan sikap antipasti terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka jadi teroris…”

http://www.hidayatullah.com/read/19366/17/10/2011/dr.-syamsul:-waspadai-paham-liberal-masuk-kabinet.html

Dr. Syamsul Hidayat, Mag, dosen program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengatakan, masyarakat harus mewaspadai titik-titik penting yang akan sangat berdampak pada masyarakat, khususnya umat Islam.
“Ada tanda SBY mulai memberi ruang kalangan liberal yang itu akan sangat merugikan kaum Muslim, “ujarnya kepada hidayatullah.com, Senin (17/10/2011).

Salah satu yang ia sebut adalah masuknya, Dr Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama. Nasaruddin yang dikenal penceramah langganan SBY ini, dinilai Syamsul memiliki pemikiran yang cukup liberal yang banyak tidak diterima masyoritas kaum Muslim.

http://www.pelitaonline.com/read/dunia-islam/nasional/20/9492/inilah-kritikan-terhadap-terjemahan-alquran/

Majelis Mujahidin Luncurkan Koreksi Terjemah al-Qur’an Versi Depag

Selasa, 01 November 2011
Hidayatullah.com–Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menerbitkan terjamah tafsiriyah al-Qur`an sebagai koreksi atas terjemah harfiyah al-Qur`an versi Kementerian Agama RI. Acara berlangsung di Hotel Sultan Jakarta, Senin (31/10/2011).
http://www.hidayatullah.com/read/19584/01/11/2011/majelis-mujahidin-luncurkan-koreksi-terjemah-al-qur’an-versi-depag.html

Menelisik ideologi teroris dalam Terjemah Qur’an Depag

FadlySenin, 25 April 2011 18:49:52Hits: 2111
Oleh Irfan S Awwas.

Mengapa aktifitas terorisme di Indonesia seakan beranak pinak, bahkan bermetamorfose menjadi petualang teroris yang sulit diberantas? Benarkah, kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Departemen Agama RI, berkontribusi besar menyemai bibit terorisme? Atau ideologi teroris lahir akibat ketidak adilan ekonomi, dan kebiadaban Densus 88 yang gemar mempertontonkan mayat terduga teroris yang diseret dijalanan tanpa prikemanusiaan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas terdengar ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa Bom Jum’at di Masjid Az-Dzikra, Kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April 2011 lalu. Tragedi bom Jum’at, terjadi sekitar pukul 12.17 WIB disaat khatib menyelesaikan khutbah Jum’at. Saat khatib turun mimbar, pelaku maju ke shaf kedua berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco. Dan saat takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah shalat Jum’at, termasuk Kapolresta Cirebon.

Dalam keterangan kepolisian berdasarkan tes DNA, ciri-ciri tubuh dan kesaksian keluarga, pelaku bom bernama Muhammad Syarif, seorang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi, tapi lemah pengetahuan agama.

Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang Muslim nekad melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom di depan mihrab masjid di saat hendak menunaikan shalat Jum’at. Sebab, Al-Qur’an melarang merusak tempat ibadah, sekalipun tempat ibadah non Islam, sebagaimana firman Allah: “….Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Qs. 22: 40).

Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa deradikalisasi yang mendiskreditkan syari’at Islam? Tulisan di bawah ini, mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama, berdasarkan telaah serius terhadap terjemah harfiyah ‘Al-Qur’an dan Terjemahnya’ yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan kesalahan terjemah ayat Qur’an, bukan kesalahan tafsir, oleh tim penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan terjamah tafsiriyah.

Ideologi Teroris

Jika Muhammad Syarif dan mereka yang sepaham dengannya, melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom untuk membunuh sasaran yang diklaim sebagai musuh, dan merasa mendapat pembenaran dari kitab suci Al-Qur’an. Bukan karena Al-Qur’an memerintahkan demikian, melainkan karena terjemahan yang salah terhadap ayat Qur’an, lalu siapa yang bertanggungjawab? Pemerintah, Majelis Ulama, tokoh-tokoh Islam, adalah yang paling bertanggungjawab, karena membiarkan terjemah Qur’an yang salah beredar bebas, tanpa koreksi.

Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Qur’an yang paling otoritatif secara kenegaraan adalah Qur’an Terjemah yang dipublikasikan oleh Departemen Agama. Hampir semua terjemah Qur’an di Indonesia merujuk pada Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag.

Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian seksama terhadap Al Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya; baik ditinjau dari segi makna lafadh secara harfiyah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadits, penjelasan sahabat, sejarah dan tata bahasa Arab.

Alih-alih meluruskan pemahaman kaum Muslimin Indonesia, justru terjemah Qur’an ini mengandung kesalahan yang dapat menimbulkan salah faham terhadap kitab suci umat Islam; seolah-olah Al-Qur’an melegalkan terorisme dan menebarkan kebencian pada pihak lain.

Dan inilah yang kerap diisukan oleh aparat intelijen dan agitator liberal untuk meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid terhadap tuntutan penegakan syari’at Islam. Seakan terorisme yang berkembang di Indonesia secara simplistik dianggap buah dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut muncul kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif vs inklusif, ideologi nasional vs transnasional dsbnya.

Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Qur’an, berkaitan dengan aqidah, ekonomi, hubungan sosial antar pemeluk agama, dan jihad, yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Sinyal berbahaya ini dapat dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:

Pertama, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)….” (Qs. 2:191)

Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan bunuhlah, dalam bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antar umat Islam dengan golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan hubungan sosial antar umat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai.

Kalimat “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” dapat dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat, karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syari’at Islam. Oleh karena itu terjemahan yang benar, secara tafsiriyah adalah:

“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir…”

Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan.” (Qs. 9:5).

Kesalahan yang sama juga ditemukan pada terjemah Qs. 9:29. Apabila orang yang tidak memahami ajaran Islam, mengamalkan ayat ini sesuai terjemah Qur’an Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial Muslim dengan Non muslim. Karena, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan Sya’ban, Dzulqa’idah, Dzuhijjah dan Muharram, setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh Islam dari golongan musyrik, baik di Makkah maupun di luar Makkah.

Padahal, perintah dalam ayat ini adalah untuk memerangi kaum musyrik di kota Makkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah Saw. dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, tetapi memerangi. Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau kepala negara.

Maka terjemah tafsiriyahnya adalah: “Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Makkah yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di tanah Haram. Jika kaum musyrik Makkah itu bertobat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.

Ketiga, tarjamah Harfiyah Depag: « Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”. (Qs. 29:6)

Kata jihad secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain. Padahal ayat ini turun pada fase Makkah, bersifat defensif, belum diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu, kata jihad dalam ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.

Bila kata jihad pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif, menyalahi fakta sejarah Nabi saw. di Makkah, dan bisa menimbulkan sikap agresif kepada kalangan Nonmuslim dalam masyarakat.

Maka tarjamah tafsiriyahnya: “Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.”

Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur’an yang salah ini.

Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-Qur’an ini, dan menghentikan peredaran Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag; supaya mereka yang anti Qur’an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai pemebenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab!

Jogjakarta, 17 April 2011

Irfan S Awwas

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

Markaz Pusat Majelis Mujahidin

Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta

Telp/ Hp. 0274-451665/ 08122761569
http://arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-terjemah-quran-depag.html

10 Tanggapan

  1. Waduh ma’af, di Al-Quran versi mana yg ada kata Terorisnya ya? Kita ndak kenal apa itu teroris. Teroris tidak dikenal di dalam Islam.

  2. pada pertengahan mei tahun 1980 saya ditanya oleh salah seorang mahasiswa IAIN SYARIFHIDAYATULLAH, “apakah kita dapat menafsirkan Al Qur’an melalui terjemahan bahasa Indonesia?” saya jawab : “Tidak bisa! tapi kita harus membahas dari bahasa Arabnya. Para ahli syiir yang orang arab dan ahli bahasa arab sendiri tidak mengerti semua isi Al Qur’an, apalagi kita orang Indonesia. karakter bahasa arab sangat jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. maka menafsirkan Al Qur’an melalui terjemahannya akan terjadi banyak kesalahan.”

  3. Setuju dengan tanggapan di atas, team kemenag RI sudah mengadakan dialog dengan MMI pada 29/04. Saya heran juga apakah dia (Irfan S Awwas) sudah pernah mengdakan penelitian dampak terjemahan versi depag terhadap kejadin terorisme. Sungguh gak masuk akal, kalau diperhatikan dari kalimat dia hanya asumsi2 dan penafsiran dia terhadap terjemah depag.

  4. […] Terjemah Al Qur’an oleh Tim Depag Insya Allah Benar […]

  5. wah, kalo memang benar terjemahan Depag keliru, apalah lagi nasib terjemahan orang-orang yang nekat belajar terjemah kilat di kursus-kursus?! Ada baiknya semua kursus kilat terjemah al-Qur`an itu dilarang saja, atau setidaknya diawasi secara ketat supaya tidak melahirkan orang-orang nekat, sok tahu, dan ujung-ujungnya, sok benar sendiri… wallahu a’lam

  6. Mau tanya, Stadz..
    Ketika “Good Morning” dialihkan ke Bahasa Indonesia menjadi “Selamat Pagi”, itu tafsiran atau terjemahan?!
    Kalau itu tafsiran, lalu terjemahannya apa?!
    Kalau itu terjemahan, bukankah tidak sesuai dengan arti katanya?!

  7. Morning itu artinya pagi. Good itu artinya bisa baik atau selamat. Contoh: Dalam keadaan baik/selamat. Jadi Selamat Pagi itu memang terjemahannya Good Morning. Apalagi Good Morning itu sebetulnya greeting atau ucapan salam yang memang satu kesatuan yang terjemahannya di bahasa Indonesia adalah Selamat Pagi.

    Kalau Kikir itu kan bahasa Arabnya ada yaitu Bakhil sementara Boros itu adalah Mubazir. Kenapa Allah tidak memakai kata Bakhil/Mubazir yg merupakan bahasa Arab tapi memakai kata “Tangan terbelenggu atau terlalu mengulurkan?”
    Itu karena Allah memang ingin memakai Gaya Bahasa Kiasan. Yang penting nanti di catatan kaki ada penjelasan: Oh maksudnya tak boleh terlalu pelit atau boros. Begitu.
    Terjemahan itu biasanya jumlah kata tak beda jauh dgn yang diterjemahkan. Kalau tafsiran pak Thalib itu dari 14 kata bisa mekar sampai 32 lebih… Padahal kalau baca ayat sebelum dan sesudahnya juga orang paham arti yang sebenarnya. Makanya jika membaca Al Qur’an tidak boleh sepotong-sepotong. Ada aturan kapan boleh berhenti dan kapan tidak boleh.
    Memang kadang terjemah itu agak bebas dan tidak terlalu letterlek agar tidak kaku.
    Tapi kalau terlalu bebas, arti beda dengan aslinya dan jumlah katanya juga jauh lebih banyak, itu sudah bukan terjemah lagi. Tapi Tafsir.
    Kalau terjemah Al Qur’an dibikin tafsir bebas yang tidak harus sesuai artinya, ini akan membuka pintu bagi aliran-aliran sesat seperti Islam Liberal untuk membuat “Terjemah” Al Qur’an versinya sendiri. Toh artinya kan tidak harus sama dengan kata-kata aslinya.

  8. aba abim, membaca alquran penting secara komperhenship bukan sepotong-potong karena untuk memahami arti kata yang terkandung dalam alquran kaedahnya begitu, dan yang terpenting lagi harus ada guru pembimbingnya yang kompeten yang legal yang sudah diakui baik oleh pemerintah maupun swasta serta mempunyai integritas.

  9. Saya setuju Al Quran itu diterjemahkan, bukan ditafsirkan.!!!.

Tinggalkan komentar