Selama orang itu tak paham bahasa Arab, tidak bisa berbahasa Arab, atau tahu bahasa Arab cuma sedikit, berarti dia (termasuk penulis) bukan ulama. Begitu ceramah KH Ismail bin Abdulghoni dari Majelis An Nuur Jatijajar Depok.
Al Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab. Demikian pula hadits dalam bahasa Arab. Jika kita tidak paham bahasa Arab, bagaimana kita bisa mengerti maksudnya? Kalau rujukannya cuma terjemah yang bisa jadi salah, itu bukan ulama. Jadi tak pantas dia berfatwa wah ini tidak ada dalilnya. Wah ini haditsnya dhoif. Wah ini palsu, dsb. Imam Syafi’ie saja baru berani mengajar setelah gurunya menyuruhnya untuk mengajar.
Contoh, menurut KH Dr Ali Sibromalisi, kalimat Ud’u lana dgn Ud’u ‘alaina itu beda 180 derajad. Yang satu artinya doakan kami. Yang satu lagi sumpahi (kutuk) kami. Beda jauh kan?
Begitu pula kata Lamsu dgn Massu itu meski terjemahnya sama2 menyentuh, itu ada bedanya. Lamsu itu menyentuh sedikit atau menoel dgn satu ujung jari. Sedang Massu itu mengusap dengan seluruh permukaan telapak tangan seperti kita pada saat tayammum. Jadi ada bedanya.
“… kamu telah menyentuh perempuan,,,” [An Nisaa’ 43]
Imam Syafi’ie menafsirkan ayat “Laamastumun Nisaa'” (Menyentuh Perempuan) itu apa adanya. Secara harfiah memang begitu. Imam Abu Hanifah juga meski pendapatnya beda, sama2 merujuk pada Al Qur’an. Merujuk ayat yang sama. Jadi semua Imam itu merujuk pada Al Qur’an meski hasil ijtihad mereka berbeda2.
Kenapa beda? Karena Ima Abu Hanifah menafsirkan “Menyentuh Wanita” tsb sebagai kiasan. Yaitu Jima’ / bersetubuh. Dalam bahasa Indonesia pun ada kiasan seperti ini misalnya: “Gadis itu belum pernah disentuh oleh pria”. Maksudnya belum pernah dikawini. Begitu. Soalnya kalau harfiyah, niscaya pernah disentuh oleh ayahnya, pamannya, temannya, dsb. Nah kiasan atau gaya bahasa begini, ulama harus paham. Kalau orang Arab, jika tidak paham sastra atau gaya bahasa juga tidak bisa jadi ulama.
Banyak kitab2 yang ditahrif oleh orientalis mau pun agen2 orientalis. Dirubah kitab2 tsb oleh kelompok yg ‘ashobiyyah/fanatik golongan. Bahkan dari bahasa Arabnya pun sudah dirubah sehingga di Al Azhar Mesir, ada satu jurusan yang khusus mempelajari kitab2 yang ditahrif ini. Jadi jika kita modalnya cuma hadits digital terjemahan, meski kita bisa mencari dgn mudah satu topik, tetap saja kita bukan ulama. Jadi jangan berlagak seperti ulama atau Mufti.
Ah Imam Syafi’ie cuma manusia. Lah ente apa bukan manusia? Kalau Imam Syafi’ie, seluruh dunia kenal. Lah ente di RT saja tidak kepake. Imam Syafi’ie umur 7 tahun sudah hafal Al Qur’an dan mengerti tafsir Al Qur’an. Ente umur segitu hafal tidak? Umur 10 tahun Imam Syafi’ie sudah hafal kitab Hadits Al Muwaththo. Menguasai 1 juta hadits dan melihat praktek ibadah Ahli Madinah yang masih cucu dari sahabat Nabi.
Paham bahasa Arab seperti Nahwu, shorof, dan balaghoh itu baru syarat awal untuk jadi ulama. Nanti ada syarat lain seperti memahami Al Qur’an, tafsir ulama salaf seperti tafsir Jalalain, beserta Asbabun Nuzul. Minimal menguasai 100 ribu hadits beserta sebab turunnya dan juga Ijma Ulama serta maksud / tujuan Syari’ah.
Jangan sampai mentang2 Balligh ‘anni walaw ayah, sepotong ayat ini langsung disebar ke mana2:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka..” [Al Baqarah 191]
Kalau cuma sepotong ayat tsb yg dipelajari dan diajarkan, akhirnya bisa jadi ekstrimis. Padahal kalau baca juga surat Al Baqarah ayat 190 dan 192 kita paham bahwa yg diperangi adalah orang2 yg memerangi kita. Itu pun di medan perang. Jika mereka berdamai/menyerah, jangan dibunuh.
“Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Baqarah 192]
Penulis yg bukan Ulama atau pun Ustad.
“..Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang” [An Nahl 103]
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab…” [Ar Ra’d 37]
Firman Allah:
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)
” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (TQS.Fathir [35]: 28)
Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2013/05/27/menghormati-dan-mengikuti-ulama-pewaris-nabi/
Berarti semua orang Arab ulama dong!
Jawab:
Paham bahasa Arab bukan berarti ulama pak. Apalagi kalau tidak paham bahasa Arab, ya pasti bukan ulama. Al Qur’an itu kan dalam bahasa Arab? Bagaimana paham Al Quran kalau bahasa Arab saja tidak paham?
Akal harus dipakai. Logika harus jalan. Pikiran harus lurus. Jika tidak, cuma sesat dan menyesatkan.
Tinggalkan Balasan